Zuhud

Zuhud


Oleh: Dewi Yulia

Penulis dari Jogja bernama Edi Mulyono dalam bukunya “Dari Allah, Oleh Allah, dan Untuk Allah” menulis ilustrasi menarik mengenai fenomena orang-orang yang berusaha keras menampilkan diri secantik dan setampan mungkin karena ingin dicintai orang lain.
Sebab saya ingin dicintai, saya menabalkan pakaian yang bagus, mahal, mewah, plus kendaraan yang mentereng, sebagai jalan untuk meraih cinta itu. Dari rambut sampai kaki, semua harus bernilai mahal. Megah. Branded. Kekinian. Harus matching. Jika baju ungun, tas pun harus ungu, jilbab pun harus ungu, sendal pun ungu. Seminimnya, serasi. Untuk apa? Untuk mendulang pujian orang-orang entah di jalanan. Pertanyaannya, apakah betul mereka memperhatikan penampilan kita?
Di tingkat yang lebih tinggi lagi, kita lihat betapa banyak orang kaya yang melakukan hal sia-sia, membangun villa mewah di puncak gunung, namun ia hanya bisa menghuninya sekali setahun. Selebihnya, kenyamanan di villa itu justru dinikmati para penjaga villa yang harus pula digaji. Atau, mereka mengoleksi mobil-mobil yang sangat mahal dan mewah dengan biaya perawatan dan pajak yang tinggi, tanpa bisa menggunakannya dengan leluasa di jalanan Jakarta yang sempit dan amat macet. Kalaupun hendak dipakai, karena badan hanya satu, tentu mobil yang bisa dikendarai pun hanya satu dalam satu waktu. Dengan segala kepemilikannya itu mereka ingin dihargai, dimuliakan, dan dicintai orang lain.

Sebaliknya, ada pula orang-orang yang tak lagi peduli pada penilaian orang lain. Bahkan mereka tak lagi peduli pada kehidupan dunia. Seluruh hidupnya digunakan untuk beribadah siang dan malam kepada Allah. Orang-orang seperti ini kadang diistilahkan dengan zahid atau orang yang zuhud. Namun perilaku ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah ber-Islam yang sempurna harus demikian? Bukankah pada sahabat Nabi dulu juga dikenal sebagai hartawan, seperti Umar bin Khattab r.a. dan Utsman bin Affan r.a., namun di saat yang sama, juga memberikan pengabdian kepada Islam?
Untuk menjawabnya, marilah kita mencari dulu definisi zuhud. Dalam buku Ensiklopedia Islam dikatakan bahwa zuhud artinya tidak memiliki keinginan terhadap sesuatu, dan meninggalkan sesuatu itu. Lawan kata zuhud adalah gemar atau menginginkan sesuatu. Zuhud dimaknai juga meninggalkan segala keinginan duniawiah. Ibnu Qoyyim menyebut ada beberapa jenis zuhud. Pertama, zuhud yang wajib, yaitu meninggalkan hal-hal yang haram. Kedua, zuhud yang sunnah, yaitu meninggalkan hal-hal yang boleh, misalnya kita boleh memiliki pakaian mahal, tapi kita memilih memakan baju yang sederhana saja. Ketiga, zuhud terhadap hal yang syubhat (masih belum jelas halal-haramnya).
Sementara itu, Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan, “Makna zuhud itu tersimpul dalam firman Allah QS Al Hadid ayat 23, “…Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu bersuka ria terhadap apa yang kamu peroleh.” Abu Sulaiman mengatakan bahwa zuhud itu letaknya di hati. Hal ini bersesuaian pula perkataan seorang ‘alim bernama Al Fudhai bin ‘Iyadh,  “Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.”
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa esensi zuhud tidak terkait dengan banyak atau sedikitnya harta yang dimiliki, dan tidak sama dengan hidup serba miskin. Orang miskin yang hatinya terus tertambat pada dunia dan berangan-angan memiliki harta sebanyak-banyaknya agar ia hidup mewah, jelas bukan orang yang zuhud. Sebaliknya ada orang yang sangat kaya, namun hatinya tidak tertambat pada kekayaan itu. Dengan ringan ia memberikan kekayaannya kepada fakir miskin, membangun sekolah, rumah sakit, dan melakukan berbagai kebaikan lainnya tanpa takut hartanya habis. Orang zuhud tidak sedih ketika hartanya diambil, tidak pula senang berlebihan karena dilimpahi banyak harta. Pola hidup orang-orang zuhud adalah pola hidup yang lebih mengutamakan azas manfaat, bukan azas kepemilikan. Apapun yang ia miliki, ingin ia manfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan umat, dengan tujuan dicintai Allah.
Sebaliknya, orang yang tidak zuhud justru ingin memiliki sebanyak-banyaknya agar ia disukai dan dihormati sesama manusia. Padahal, seperti diilustrasikan di awal tulisan ini, orang-orang sebenarnya tidak peduli dengan seberapa indah baju kita dan kalaupun mereka peduli, juga tidak ada manfaatnya bagi kita (atau kalau ada, hanya sesaat). Karena satu-satunya manfaat yang abadi adalah keridhaan dan kecintaan dari Allah SWT.

*Semoga bermanfaat sahabat jagho

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syailil Kaunahal 'Arofata (Wulida Shodiqu)

Shil Ya Nabi