Mengapa Kita Membutuhkan Wahyu?

Mengapa Kita Membutuhkan Wahyu


Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan ini kita senantiasa membutuhkan pembimbing yang kita anggap mempunyai otoritas lebih dari kita. Allah swt sebagai pencipta dan pengelola semesta ini, mustahil membiarkan umat manusia berjalan tanpa bimbingan. Jika kita mau dengan jernih melihat persoalan ini, maka akan tampaklah dengan nyata bahwa wahyu dan akal merupakan pembimbing yang diberikan Allah swt kepada umat manusia. Mufassir kontemporer, Allamah Thabathabai penulis Tafsir al-Mizan mengemukakan :
“…manusia bisa memperoleh gagasan tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang bermanfaat dan apa yang merusak bagi dirinya sendiri, dengan menggunakan akalnya. Tetapi yang sering lebih terjadi adalah akal tersebut menyerah kepada kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu; kadang-kadang akal juga melakukan kekeliruan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bimbingan ilahi harus diberikan melalui sarana tambahan selain akal, suatu sarana yang sepenuhnya bebas dari kesalahan…cara ini adalah kenabian. Lewat kenabian, Tuhan Yang Maha Tinggi mengajarkan perintah-perintah-Nya kepada salah seorang hamba-Nya melalui wahyu.”
Wahyu sebagai sumber bimbingan telah dibuktikan dalam koridor filsafat dan sains. Sederetan para filosof papan atas, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Massarah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, dan Mulla Sadra telah menuangkan pikiran mereka untuk membuktikan jembatan emas antara wahyu dan akal. Hal ini menunjukkan bahwa akal mengakui otoritas wahyu sebagai pedoman kehidupan dan petunjuk pengetahuan. Abu Ali Ibnu Sina saat bicara tentang kenabian menyatakan :
“Sebagian esensi individual berdiri sendiri dan sebagian lagi tidak; maka yang pertama itu adalah yang lebih unggul. Yang berdiri sendiri itu bisa berupa wujud-wujud esensial yang immaterial, atau berupa wujud-wujud material; dan yang pertama itulah yang lebih unggul…bentuk-bentuk material yang memberi wujud kepada benda-benda bisa bersifat organik atau tidak organik; yang pertama itulah yang lebih unggul. Yang organik itu bisa berupa binatang atau bukan binatang; yang berupa binatang itulah yang lebih unggul. Seterusnya, binatang ada yang rasional dan ada yang tidak rasional; dan yang rasional itu yang lebih unggul. Yang Rasional itu boleh jadi memiliki akal dengan kesediaan positif atau tidak memilikinya; dan yang memiliki itu yang lebih unggul. Yang rasional dengan disposisi positif itu bisa menjadi aktual secara sempurna atau tidak; dan yang menjadi aktual secara sempurna itulah yang unggul. Yang menjadi aktual secara sempurna itu, ada secara langsung dan ada yang melalui perantara; dan yang pertama itu yang lebih unggul. Inilah yang disebut nabi, yang padanya terdapat puncak tingkat-tingkat keunggulan dalam lingkungan bentuk-bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya serta menguasai mereka.
“Wahyu adalah bentuk pancaran, dan malaikat adalah kekuatan yang memancarkan, yang diterima oleh para nabi dan yang turun kepada mereka, seolah-olah ia merupakan pancaran yang bersambung dengan intelek universal, yang terperinci bukan secara esensial melainkan secara kebetulan, disebabkan kekhususan para penerimanya…jadi kerasulan adalah bagian dari pancaran itu yang dinamakan wahyu, yang diterima dalam berbagai bentuk ekspresi untuk kepentingan umat manusia… Rasul adalah orang yang menyampaikan apa yang ia peroleh dari pancaran yang disebut wahyu, sekali lagi dalam bentuk ekspresi apapun yang dianggap terbaik, agar dengan ajaran-ajaranya itu bisa dihasilkan adanya perbaikan dalam alam indera melalui politik, dan alam intelektual dalam ilmu pengetahuan.”
Al-Farabi, filosof yang mendahului Ibnu Sina ketika menjelaskan tentang wahyu menyatakan bahwa ketika seorang nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis akal yang dilibatkan ayitu akal aktif, akalmustafad (akal perolehan), dan akal pasif (al-aql al-munfail).
Uraian ringkas ini telah memberikan gambaran sederhana bahwa wahyu sebagai sebuah realitas diterima oleh para Nabi terkhusus Nabi Muhammad saw dengan jiwa dan kebersihan akalnya yang sempurna shingga mampu dalam kondisi sadar melakukan hubungan spiritual dengan alam gaib (alam malakut). Berkaitan dengan hal ini Nabi saw bersabda: “Allah tidak mengutus seorang nabi dan rasul sehingga akalnya menjadi sempurna dimana pemikirannya lebih baik dari pemikiran seluruh manusia” Jadai dengan kesempurnaan akal dan pikirannya beliau diangkat menjadi Nabi untuk seluruh umat manusia.

*Semoga bermanfaat sahabat jagho

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syailil Kaunahal 'Arofata (Wulida Shodiqu)

Shil Ya Nabi