Menangkal Sombong

Menangkal Sombong


Oleh: Dewi Yulia

Buya Hamka selain sebagai ulama, dikenal pula sebagai sastrawan. Melalui karya-karya novelnya, ia menyelipkan berbagai petuah agama kepada para pembacanya. Dalam novel berjudul Angkatan Baru, dikisahkan seorang perempuan anak orang kaya bernama Syamsiar yang menikah dengan Hasan. Kehidupan rumah tangga mereka ditanggung oleh keluarga Syamsiar, sehingga membuat Hasan tak enak hati. Dia pun mengajak Syam hidup mandiri, mencari pekerjaa di kampung lain, atau tetap di kampung tetapi bekerja mencari nafkah dengan jerih payah sendiri.
“Tidakkah baik kalau kita coba sebagaimana yang dicoba orang lain, kita tinggalkan kampung halaman. Kalau tidak dapat jadi guru, kita coba berkuli mnerima upah dan lain-lain. Kalau kita akan tinggal di kmpung juga, kita coba ke sawah ke ladang seperti orang kampung itu, membajak, meneroka.” (kata Hasan).
“Membajak?” tanya Syamsiar, “Adakah layak kita keluaran sekolah agama, guru-guru  kita keluaran Mesir dan Jakarta, kita akan jadi tukang bajak sawah. Adakah mungkin kita pergi ke negeri orang, padahal pekerjaan yang akan didapati tidak ada,” jawab Syamsiar.
Inilah bentuk kesombongan Syamsiar. Pada akhirnya, dia dicerai suaminya, dan kelak ia pun sadar atas segala kesalahannya.
Salah satu pesan Hamka melalui kisah ini adalah hendaknya kita menjauhkan diri dari sifat sombong karena hanya akan menghancurkan diri sendiri. Gejala-gejala orang sombong atau takabur ialah dirinya merasa hebat, mau menang sendiri, tidak mau mendengar atau menerima pendapat orang lain. Rasulullah memberi penjelasan mengenai ciri sifat sombong itu,  “Takabur adalah menolak kebenaran dan menghina serta meremehkan orang lain.”
Dalam kajian psikologi, sombong diistilahkan dengan narsisme, yaitu perilaku yang dipenuhi rasa bangga atas diri sendiri serta mengabaikan orang lain demi mencapai ambisinya sendiri. Orang yang narsis atau Narcissistic Personality Disorder (NPD) memiliki sifat-sifat seperti sombong, congkak, mudah tersinggung, kurang empati, haus pujian, merasa dirinya lebih unggul dari orang lain, dan karena itu mereka anti dikritik. Mereka juga selalu berusaha menampilkan diri lebih baik dan lebih kaya daripada orang lain agar mendapatkan kekaguman dan pujian dari orang lain.
Karena kesombongan akan menyeret manusia kepada berbagai bentuk kejahatan, ancaman terhadap orang sombong pun sangat berat. Dalam QS Al Baqarah ayat 206, Allah berfirman, “Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.”
Makhluk pertama yang berbuat sombong adalah iblis. Ia sebelumnya adalah makhluk yang sangat taat beribadah kepada Allah. Namun ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam ia menolak karena merasa lebih mulia dari Adam.  Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raf: 12). Firaun pun mengalami nasib akhir yang buruk karena ia menolak tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya (Nabi Musa) karena merasa dirinya adalah penguasa besar, “Bukankah kerajaan Mesir itu milikku….?” (QS Az-Zukhruf: 51).
Bagaimana cara menghindari rasa sombong agar tidak bersemayam dalam diri manusia? Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ “Uluumuddiin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran. Dengan kata lain, selalulah ingat bahwa diri ini diciptakan dari air mani yang hina (bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?- QS Al Mursalaat: 20). Jadi, apa layak kita bersikap sombong?

*Semoga bermanfaat sahabat jagho

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syailil Kaunahal 'Arofata (Wulida Shodiqu)

Shil Ya Nabi