Kamus Genetika di Alam Akhirat

Kamus Genetika di Alam Akhirat


“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, sehingga yang berbicara kepada Kami adalah tangan mereka dan kaki mereka juga memberikan kesaksian terhadap apa yang dulu mereka usahakan”
(Q.S. Yasin : 65)
Jika kita membicarakan tentang hari kiamat, yang terbayang dalam benak kita adalah dahsyatnya kehancuran alam semesta ini sebagai akhir dari kehidupan, perhitungan Allah serta keadilan-Nya. Kiamat merupakan penegasan keyakinan akan berakhirnya alam duniawi dan berganti dengan alam akhirat untuk menusia bangkit mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia selama hidup.
Salah satu keraguan yang dimunculkan oleh para penentang adanya kebangkitan di akhirat adalah keraguan terhadap ilmu pelaku, yaitu bagaimana dapat membedakan sekian banyak jenis makhluk yang hancur luluh? Bagaimana mengetahui berbagai tindakan manusia di masa lalu setelah ia binasa? Dalam Alquran diceritakan pertanyaan para penentang kebangkitan akhirat,“Bagaimana mereka yang hidup pada kurun waktu pertama? Musa menjawab, ‘Sesungguhnya ilmu itu berada pada Tuhanku di dalam satu kitab. Tuhanku tidak sesat dan tidak pernah lupa.” (Q.S. Thaha: 51); “Katakanlah, ‘yang telah menghidupkannya kembali itu adalah yang telah menciptakannya pertama kali dan Dia Maha Tahu akan segala ciptaan-Nya.”(Q.S. Yasin : 79).
Namun, pada saat ini, keraguan itu semakin mudah terjawab dengan berbagai penelitian dari para ilmuwan. Diantaranya apa yang diceritakan oleh Dr. Abdul Muhsin Shalih tentang penelitian di laboratorium Filex Ashtromoaraz dari Institut Teknologi di California.
Seorang ilmuwan yang mencari beberapa ekor siput dan meletakkannya di dalam sebuah wadah yang berisi air laut. Dia memasang di wadah itu sebuah lampu listrik untuk menerangi wadah itu. Selanjutnya, ia bermaksud mengajarkan sesuatu kepada siput, hingga pelajaran itu tersimpan di dalam otak primitifnya. Setiap hari pada pukul 08.00 pagi, siput diberi makan dengan cara menyalakan lampu dan meletakkan makanan di wadah tersebut. Pada pukul 20.00 malam, lampu dimatikan. Begitulah setiap harinya.
Pada awalnya, siput-siput itu tidak memahaminya, tetapi setelah dilakukan berulang-ulang, maka siput-siput itu pun memahami nyala lampu itu sebagai petunjuk bahwa makanan segera diberikan. Kemudian dicermatilah, setiap kali lampu dinyalakan, terjadi gerakan yang tidak wajar pada bejana itu. Itulah saat dimana siput-siput itu mulai mencari dan menyantap makanan.
Dengan demikian berarti siput-siput itu telah belajar dan menyimpan sejumlah peristiwa yang dialami dalam memorinya. Untuk mengungkap rahasia yang terpendam di dalamnya, orang tersebut melanjutkan eksperimennya.
Siput-siput diambil lalu dipecahkan dan mengambil otaknya (syarafnya) dan satu sel dari syaraf tersebut kemudian dihubungkan dengan benang lembut seperti rambut dengan alat elektronik yang dapat merekamnya. Berikutnya, orang itu mencermati hasil rekamannya, dan ternyata hasilnya benar-benar membuat dirinya terperangah.
Saat lampu dinyalakan di pagi hari lalu makanan disediakan, alat perekam mendeteksi naiknya getaran pada sel itu sampai 40 kali per menitnya, dan getaran itu berlanjut selama tiga jam, dan setelah itu berangsur-angsur melemah sampai kurang dari 10 kali per menit. Itulah yang terjadi setiap pagi hari. Apa artinya?
Ini berarti syaraf otak siput sedang berbicara “Bersiaplah kalian, lampu telah menyala, merangkaklah maju untuk menyantap makanan.” Rupanya syaraf di dalam kehidupan siput, merupakan sistem kontrol yang mengatur kehidupannya, persis seperti otak manusia. Syaraf siput itu yang mengatur nafas, sekresi, kebutuhan biologis, makan dan cara mendapatkannya, sensitifitas terhadap alam, cahaya, air, dan lainnya.
Itulah satu sel siput, tubuhnya sudah hancur, tetapi selnya masih merekam peristiwa yang dialaminya dan menyimpan data yang diterimanya dari sekitarnya. Orang tersebut melakukan eksperimen tersebut berkali-kali dan hasilnya sama. Sungguh menakjubkan.
Di sela-sela eksperimen yang dilakukannya, ia mendapatkan sesuatu yang berbeda, di mana pada waktu-waktu tertentu, yaitu setiap 14 hari ada getaran-getaran aneh dari sel syaraf tersebut yang teratur dan sangat tinggi. Peneliti itu tidak memahami arti getaran itu. Dengan kesabaran, kecermatan, dan perenungan, sampailah ia pada pengetahuan berikutnya.
Ternyata, isyarat-isyarat sel syaraf itu tidak hanya terikat pada waktu pagi dan sore hari, hasrat biologis atau makanan, tetapi terkait juga dengan peristiwa masa lalu. Orang tersebut heran, ada apa setiap 14 hari? Untuk mencari tahu, ia pun mengunjungi pantai tempat diambilnya siput tersebut, dan ditemukanlah ternyata getaran-getaran aneh itu muncul seiring dengan terjadinya pasang di laut ketika ombak membumbung tinggi dan siput-siput naik ke atas bebatuan. Di duga bahwa siput yang telah dihancurkan tubuhnya itu, masih merasa tetap bersama ombak dan memberikan peringatan untuk naik ke atas batu mencari tempat yang aman. Demikianlah, jadi semua peristiwa ternyata tetap tersimpan meskipun tubuhnya telah hancur dan mati.
Jika siput saja mampu menyimpan memori dan menampilkannya lagi setelah mati, maka bagaimana lagi dengan manusia sebagai makhluk yang lebih sempurna dari pada siput? Tentu saja pembuktian ini memberikan gambaran bahwa—dengan alat deteksi yang benar—sangat memungkinkan untuk berbicara dengan sel-sel tubuh yang telah hancur dan ia menceritakan berbagai peristiwa yang dialaminya tanpa berdusta, tanpa keliru, dan tidak menipu, sebab ia mengenal dengan baik orang yang mati yang merupakan tempat bersemayam sel-sel tersebut.
Memang sel atau gen tidak mempunyai lidah untuk berbicara, tetapi ia “berbicara” melalui berbagai isyarat dan getaran-getaran yang ditimbulkannya dan kita tinggal menerjemahkan maksudnya sehingga tercipta kamus bahasa sel atau kamus genetika. Sungguh Maha Benar Allah dengan firmannya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, sehingga yang berbicara kepada Kami adalah tangan mereka dan kaki mereka juga memberikan kesaksian terhadap apa yang dulu mereka usahakan” (Q.S. Yasin : 65). 

*Semoga bermanfaat sahabat jagho

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syailil Kaunahal 'Arofata (Wulida Shodiqu)

Shil Ya Nabi